SABANGINFO.COM, BANDA ACEH — Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berkolaborasi dengan Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh menggelar Workshop Rapid Mental Health Assessment and Psychological First Aid in Disaster Setting, yang berlangsung selama dua hari, Kamis–Jumat (11–12/12/2025).
Workshop dilaksanakan di Gedung Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan ICT Universitas Syiah Kuala. Kegiatan ini diikuti oleh 40 peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, psikolog, perwakilan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Aceh, organisasi nonpemerintah lokal, hingga relawan dari YKMI, PULIH, Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A), Yayasan Geutanyoe, pemerhati isu perempuan, serta para pendamping lapangan.
Workshop ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kapasitas peserta dalam merespons situasi kebencanaan, khususnya pada fase darurat dan masa krisis, melalui pendekatan kesehatan mental dan dukungan psikososial (mental health and psychosocial support/MHPSS). Selain itu, kegiatan ini juga menekankan pentingnya rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap penyintas banjir dan tanah longsor yang belakangan melanda sejumlah wilayah di Aceh.
Hari pertama workshop dibuka oleh Dr. Haiyun Nisa, S.Psi, M.Psi, Psikolog, yang diawali dengan pelaksanaan pre-test terkait pemahaman peserta mengenai kesehatan mental dan Psychological First Aid (PFA). Sesi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi pengantar MHPSS oleh Intan Dewi Kumala, S.Psi., M.Si.
Dalam materinya, Intan menjelaskan konsep dasar kesehatan mental dan dukungan psikososial dalam konteks kebencanaan, termasuk bagaimana bencana dipahami dalam perspektif budaya masyarakat Aceh. Ia juga memaparkan tahapan respons kebencanaan, mulai dari fase darurat, krisis, hingga layanan dukungan psikososial berkelanjutan.
Sesi ini diperkaya dengan diskusi pengalaman lapangan dari para peserta yang sebelumnya telah terlibat langsung dalam penanganan dampak banjir dan tanah longsor. Peserta juga diminta mempresentasikan kompetensi masing-masing dan peran yang dapat mereka jalankan dalam program layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial bagi penyintas.
Pada sesi sore, materi dilanjutkan oleh Dr. Diana Setiyawati., M.HSc.Psy., Psikolog, yang membahas secara mendalam konsep Psychological First Aid, kesehatan mental, psikososial, serta istilah yang tepat digunakan dalam mendampingi penyintas bencana pada fase darurat dan krisis.
Diana menekankan bahwa penggunaan istilah “trauma” perlu lebih berhati-hati. Menurutnya, perasaan cemas, stres, marah, gangguan tidur, putus asa, dan sulit berkonsentrasi merupakan reaksi normal dalam situasi yang tidak normal, terutama dalam jangka waktu pendek pascabencana.
Ia juga menjelaskan ciri-ciri kesehatan mental, antara lain kemampuan mengenali potensi diri dan tujuan hidup, memiliki pemahaman yang realistis, mampu mengatasi tekanan sehari-hari, bekerja secara produktif, serta berkontribusi bagi lingkungan sekitar.
Selain itu, Diana memaparkan piramida intervensi kesehatan mental dan dukungan psikososial dari Inter-Agency Standing Committee (IASC) PBB yang telah diadaptasi untuk situasi darurat. Piramida tersebut mencakup dukungan dan advokasi praktis, dukungan komunitas dan keluarga, dukungan terfokus nonspesialis, hingga layanan kesehatan mental spesialis.
Memasuki hari kedua, workshop dilanjutkan dengan materi dari Yuli Arinta Dewi, S.P., M.Si , yang menjelaskan teknik pelaksanaan initial assessment dan rapid assessment pada penyintas bencana, khususnya dalam konteks kebencanaan di Aceh.
Pada sesi berikutnya, Dr. Diana Setyawati kembali menyampaikan materi lanjutan PFA (PFA II), yang menitikberatkan pada keterampilan praktis yang perlu dimiliki relawan dalam menjalankan program psikososial. Pendekatan utama dalam PFA yang disampaikan meliputi look, listen, and link serta listen, talk, and play, terutama saat mendampingi anak dan kelompok rentan.
Dalam sesi tersebut, Diana juga mengaitkan pentingnya keterampilan komunikasi empatik dengan nilai-nilai keislaman. Ia mencontohkan komunikasi dialogis Nabi Musa AS sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surah Thaha, sebagai teladan komunikasi yang menenangkan dan penuh empati.
Menjelang penutupan, peserta kembali diminta mengisi post-test untuk mengukur peningkatan pemahaman terkait rapid assessment, MHPSS, dan PFA.
Workshop kemudian ditutup dengan pemilihan koordinator layanan dukungan psikososial bagi penyintas banjir dan tanah longsor di Aceh.
Dalam forum tersebut, peserta secara mufakat mempercayakan peran koordinator kepada dr. Imam Maulana dari Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A), yang diharapkan dapat mengoordinasikan jejaring relawan dan layanan dukungan psikososial di wilayah terdampak bencana.[]
