Bukan Trauma Healing Tapi Pendampingan Psikososial



Oleh : dr. Imam Maulana |Penulis adalah Direktur Eksekutif GEN-A dan Praktisi Kesehatan Mental

SABANGINFO.COM, Setiap kali bencana terjadi—banjir, gempa, kebakaran, atau konflik sosial—kita hampir selalu mendengar istilah trauma healing. Spanduk kegiatan dipasang, relawan berdatangan, anak-anak diajak bermain, lalu program dinyatakan selesai. Sayangnya, di balik niat baik tersebut, ada satu kekeliruan mendasar yang terus berulang: tidak semua penyintas mengalami trauma klinis, dan tidak semua kondisi pascabencana membutuhkan “penyembuhan trauma”.

Yang lebih dibutuhkan oleh sebagian besar penyintas justru adalah pendampingan psikososial.


*Trauma Bukan Istilah Sembarangan*

Dalam ilmu kesehatan mental, trauma adalah kondisi psikologis spesifik yang muncul akibat peristiwa ekstrem dan mengancam nyawa, serta ditandai dengan gejala tertentu seperti kilas balik (flashback), mimpi buruk, hipervigilans, hingga gangguan fungsi sehari-hari. Trauma bukan sekadar sedih, takut, atau menangis setelah bencana.


Namun, di lapangan, istilah trauma sering digunakan secara longgar. Anak yang diam dianggap trauma. Ibu yang menangis disebut trauma. Padahal, reaksi tersebut bisa jadi adalah respon normal terhadap situasi tidak normal.

Ketika semua reaksi emosional dilabeli sebagai trauma, kita justru berisiko menyebabkan stigmatisasi penyintas sebagai “sakit”, mengabaikan kekuatan dan daya lenting (resiliensi) mereka, hingga memberikan intervensi yang tidak sesuai kebutuhan.


*Pendampingan Psikososial: Pendekatan yang Lebih Manusiawi*

Pendampingan psikososial tidak berangkat dari asumsi bahwa penyintas “rusak” dan harus disembuhkan. Ia berangkat dari keyakinan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk pulih, asalkan lingkungannya mendukung.


Pendampingan psikososial fokus pada mengembalikan rasa aman, menjaga keberfungsian sosial, memperkuat dukungan keluarga dan komunitas, memberi ruang berekspresi tanpa memaksa “cerita trauma”.


Dalam konteks anak, pendampingan psikososial bisa berupa rutinitas bermain, belajar, beribadah, atau sekadar ditemani tanpa diinterogasi perasaannya. Dalam konteks orang dewasa, bisa berupa ruang berbagi, aktivitas bermakna, atau keterlibatan dalam pemulihan komunitas.


Pendampingan ini tidak mengorek luka, tetapi menopang proses pulih secara alami.


*Masalah Pendekatan Instan Pascabencana*

Pendekatan “trauma healing instan” sering kali bersifat seremonial: datang sebentar, bermain sebentar, foto bersama, lalu pergi. Tanpa keberlanjutan, tanpa memahami konteks sosial-budaya penyintas.


Lebih berbahaya lagi, jika relawan yang tidak memiliki kapasitas kesehatan mental memaksa anak atau penyintas untuk “mengeluarkan emosi”, menceritakan pengalaman pahit, atau melakukan simulasi yang justru membuka luka yang belum siap dihadapi.


Pendampingan psikososial menuntut kesabaran. Ia tidak sensasional, tidak instan, dan sering kali tidak terlihat hasilnya dalam sehari. Tapi justru di situlah kekuatannya.


*Anak dan Komunitas Bukan Sekadar Objek Intervensi* 

Pendampingan psikososial yang baik memandang penyintas, termasuk anak dan remaja, sebagai subjek, bukan objek. Mereka tidak hanya “ditolong”, tetapi dilibatkan sebagai penolong.


Anak-anak bisa diberi peran sederhana, remaja dilibatkan dalam menjaga kebersihan posko, orang dewasa ikut dalam pengambilan keputusan komunitas. Keterlibatan ini memperkuat harga diri, rasa bermakna, dan kontrol atas hidup mereja yang merupakan faktor penting dalam pemulihan psikologis.


Dalam banyak pengalaman lapangan, justru keterlibatan aktif inilah yang menjadi pelindung utama kesehatan mental pascabencana.


*Kapan Trauma Healing Dibutuhkan?*

Trauma healing atau intervensi klinis tetap penting—tetapi bersifat selektif dan profesional. Ia dibutuhkan ketika gejala menetap dan mengganggu fungsi, ada tanda gangguan stres pascatrauma (PTSD),dan  penyintas tidak mampu berfungsi meski lingkungan sudah stabil.


Intervensi ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan mental terlatih, bukan oleh siapa saja yang memiliki niat baik.


*Mengubah Cara Pandang*

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang dalam respons bencana. Tidak semua kesedihan adalah trauma. Tidak semua penyintas perlu “disembuhkan”.

Yang paling dibutuhkan sering kali adalah kehadiran yang konsisten, lingkungan yang aman, aktivitas yang bermakna, dan komunitas yang saling menjaga.


Bukan trauma healing yang terburu-buru, tetapi pendampingan psikososial yang manusiawi, berkelanjutan, dan berbasis komunitas.


Karena dalam banyak situasi bencana, yang paling menyembuhkan bukanlah intervensi teknis—melainkan rasa didengar, dihargai, dan tidak ditinggalkan.


Mari kita ubah cara kita merespons bencana. Alih-alih terburu-buru “menyembuhkan trauma”, mari hadir sebagai pendamping yang setia—mendengarkan tanpa menghakimi, menemani tanpa memaksa, dan menguatkan tanpa melabeli. Mari membangun ruang aman, rutinitas bermakna, dan komunitas yang saling menjaga, agar penyintas dapat pulih dengan martabatnya sendiri. Karena dalam setiap bencana, yang paling dibutuhkan bukan sekadar program, tetapi kehadiran manusia yang peduli dan bertanggung jawab.[]