SABANGINFO.COM, BANDA ACEH - Dunia digital telah menjadi lanskap utama
kehidupan remaja Indonesia saat ini. Namun di balik layar ponsel dan
media sosial, tersembunyi kompleksitas yang tak sedikit berkontribusi
pada meningkatnya tekanan mental generasi muda. Aula Labschool, Rabu, (16/07/2025).
Dalam konteks inilah, lebih dari 150 siswa kelas 10 SMA Labschool Unsyiah mengikuti sesi edukasi bertema Membangun Karakter Pemuda Cerdas & Bijak di Era Digital bersama GEN-A (Generasi Edukasi Nanggroe Aceh), dalam rangkaian Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tahun ajaran 2025/2026.
Di
tengah ketergantungan yang semakin tinggi terhadap gawai, para remaja
menghadapi tekanan sosial yang belum tentu mereka pahami atau mampu
kendalikan. Dari paparan informasi yang berlebihan, perbandingan hidup
di media sosial, hingga kecemasan akan citra diri dan cyberbullying,
para remaja terjebak dalam ruang digital yang sering kali menuntut lebih
banyak daripada memberi.
Menurut dr. Imam Maulana, Direktur
Eksekutif GEN-A sekaligus narasumber utama kegiatan ini, persoalan
kesehatan mental remaja tak bisa lagi dipisahkan dari dinamika kehidupan
digital mereka. “Kita sedang menghadapi generasi yang mengalami tekanan
tak terlihat. Mereka terlihat aktif, produktif, bahkan lucu di TikTok —
tapi di balik itu, banyak yang kesepian, cemas, dan tidak tahu ke mana
harus bicara,” ujarnya.
Kesehatan Mental dan Karakter Digital
Alih-alih
hanya menyampaikan definisi teknis atau aturan bermedia sosial, sesi
edukasi ini lebih menekankan penguatan karakter dan kesadaran diri.
Remaja diajak memahami bahwa cerdas bukan sekadar pintar akademik, dan
bijak bukan hanya soal bersikap sopan. Keduanya adalah fondasi penting
untuk membangun kesehatan mental yang kokoh di era digital.
“Karakter
bukan hanya tentang apa yang kamu tahu, tapi siapa kamu saat tidak ada
yang melihat. Bagaimana kamu memperlakukan orang lain di kolom komentar
adalah cerminan siapa kamu sebenarnya,” jelas Annisa Putri salah satu
edukator GEN-A yang juga mahasiswa Pendidikan Dokter FK Abulyatama.
Di
dalam kelas terbuka selama dua jam tersebut, peserta dikenalkan lima
pilar karakter cerdas dan bijak di era digital: integritas digital,
literasi & berpikir kritis, kreativitas, empati & toleransi,
serta manajemen diri.
Setiap pilar dikemas dalam contoh konkret:
dari bagaimana mengenali dan menghindari hoaks, melindungi data pribadi,
menyadari jejak digital yang tak pernah hilang, hingga praktik
membatasi penggunaan media sosial untuk menjaga keseimbangan hidup.
“Otak
kita lebih canggih dari algoritma mana pun. Tapi kalau tidak dilatih
berpikir kritis, kita bisa diperdaya konten sesat atau jadi korban
manipulasi,” tambah Aiza, salah satu edukator yang memfasilitasi sesi
reflektif dan kuis interaktif, yang juga mahasiswa Ilmu Pemerintahan
USK.
Digitalisasi dan Tekanan Tak Kasat Mata
Fenomena Fear of
Missing Out (FOMO), kecemasan sosial, dan citra diri yang dibentuk dari
likes atau followers telah menjadi pemicu tekanan psikologis baru bagi
remaja. Paparan berlebihan terhadap kehidupan sempurna orang lain di
media sosial menciptakan standar ilusi yang tidak realistis. Tidak
sedikit yang akhirnya merasa kurang berharga, tertinggal, bahkan
kehilangan arah.
Sementara itu, kasus perundungan siber juga kian
meningkat. Banyak remaja yang menjadi sasaran ejekan, fitnah, atau
intimidasi di ruang digital, namun merasa malu atau takut untuk melapor.
Dalam sesi ini, siswa dibekali strategi menghadapi tekanan digital,
termasuk cara mengelola emosi, membangun ketahanan mental, dan mencari
bantuan ketika diperlukan.
“Kami ingin anak-anak tahu bahwa sehat
mental juga berarti tahu kapan harus istirahat dari gawai, kapan harus
berbicara, dan kapan harus mengabaikan hal-hal yang tidak membangun,”
Ujar Farah Novilianti Irawan, co-trainer dari tim edukator GEN-A yang
juga mahasiswa Pendidikan Dokter FK USK.
Dari Edukasi ke Transformasi
Alih-alih
hanya menjadi ajang ceramah satu arah, sesi edukasi ini dikembangkan
sebagai ruang dialog terbuka yang memicu refleksi diri. Para peserta
juga terlibat dalam kuis literasi digital, bernyanyi dan senam tangkal
hoaks, hingga tanya jawab interaktif.
Salah satu peserta, Hafizh
Alshidiqi (17), mengaku bahwa kegiatan ini membantunya lebih menyadari
dampak media sosial terhadap emosinya. “Ternyata banyak hal yang saya
anggap biasa, padahal bisa berbahaya buat mental saya. Seperti
membandingkan diri terus-terusan sama orang lain di Instagram, ikutan
tren FOMO. Setelah ikut sesi ini, saya lebih paham cara jaga diri,”
ujarnya. "Kegiatan sangatlah menarik, pembawaan dari tim narasumber yang
interaktif, asik dan ada games, nyanyian, dan senam edukatif buat kami
senang. terbaik deh pokoknya" jelasnya Hafizh yang juga Ketua OSIS.
Menuju Generasi yang Tangguh dan Berdaya
dr.
Imam menegaskan, membangun generasi cerdas dan bijak digital bukan
sekadar tugas guru TIK atau konselor sekolah. “Ini kerja lintas peran:
sekolah, keluarga, komunitas, bahkan negara. Kita harus menciptakan
ekosistem yang mendorong pertumbuhan karakter dan kesehatan mental anak
muda secara menyeluruh,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa
literasi digital tak boleh berhenti pada soal keamanan daring atau
pengenalan teknologi semata. “Harus naik kelas. Kita ajak remaja untuk
berpikir etis, berempati, bertanggung jawab, dan produktif di ruang
digital. Mereka bukan sekadar konsumen, tapi juga warga digital yang
punya kuasa dan dampak.”
Kolaborasi bersama OSIS SMA Labschool
Unsyiah ini ada bagian dari upaya GEN-A dalam menyiapkan generasi Aceh
yang bukan hanya unggul secara intelektual, tetapi juga matang secara
emosional dan sosial. “Kami percaya bahwa kesehatan mental adalah
fondasi penting dari karakter bangsa. Remaja yang cerdas dan bijak
secara digital adalah aset masa depan,” tambah Imam Maulana, yang juga
praktisi kesehatan masyarakat.
Kegiatan ini menandai langkah
penting dalam membangun kesadaran bahwa teknologi harusnya menjadi alat
pemberdaya, bukan sumber tekanan. Sebab, membentuk karakter yang kuat
dan sehat tidak bisa ditunda, terlebih di tengah dunia digital yang
tidak mengenal waktu.[]